From Meccah to Madinah (2 years ago)

Ketika pesawat akan mendarat di Jeddah, ibu menyapa,”kak, liat tu padang pasir!”
Subhanallah.. selama ini karena hanya terbang seputaran Indonesia saja, maka yang terlihat pun adalah khas Indonesia, hutan-hutan yang hijau dan sungai yang melingkar2 bak ular.

Sampai di bandara Jeddah, yang terlihat masih wajah2 Indonesia juga, kebanyakan mereka katanya adalah Mahasiswa Indonesia yang part-time sebagai guide travel2 dari Indonesia. Dengan bahasa arab yang lancar (bagi saya hal ini betul2 bikin iri), mereka mengurusi administrasi jama’ah Indonesia.

Perjalanan pertama adalah menuju Madinah. Meski Mekkah lebih dekat dengan Jeddah, tapi kita tetap harus berputar dulu ke Madinah untuk miqat sebelum umroh. Kenapa tidak miqat di Jeddah saja? Riwayat Shahih menyatakan bahwa miqat di Jeddah hanya boleh dilakukan oleh Ahlul-Jeddah, alias warga asli Jeddah. Begitu guide-nya menjelaskan sepanjang perjalanan di dalam bus.

-Madinah-
Setibanya di Madinah terlihatlah binar2 lampu An-Nabawi.

Ingin tau rasanya melihat masjid tersebut? Membayangkan ada Jasad Qudwah yang begitu kita cintai di dalamnya?

(1st) Silakan rasakan sendiri nanti.
(Bocoran sedikit, Mungkin perasaan seperti symbol ini: (T_T))

Siang hari pada bulan juli di Madinah adalah saat-saat suhu mencapai 40⁰C. Luar biasa!! Mata serasa tak sanggup untuk terbuka, tapi teringat taujih seseorang sebelum berangkat, “Bulan ini adalah bulan2 musim panas disana, tapi gak masalah, asal hati gak panas.” Harus semangat Yoooo!!!

Masuk ke pelataran Nabawi, perasaan rasanya diaduk-aduk. Betul2 campur aduk! Mulai dari sana women’s area and men’s area terpisah, saking besarnya Nabawi, kita betul2 tidak bisa melihat jama’ah lawan jenis, hijab diatur rapi. Toilet dan tempat wudhu pun ada tempat tersendiri, 2 lantai, tapi under ground. Sebelum masuk ada “satpol PP” yang meriksa kita, wanita2 bercadar untuk wanita. Ntah kenapa, pria diperbolehkan membawa kamera, wanita tidak (mungkin ada pertimbangan kadar “kenarsisan” kali ya? Secara wanita cenderung lebih senang mendokumentasikan setiap momentnya. heheh)

Setelah lolos seleksi Satpol PP, sebelum melangkah lebih lanjut, terhenti sejenak untuk mengikuti keinginan mata yang ingin sekali mengitari seisi An-Nabawi.

Bagaimana rasanya?
(2nd) Sila rasakan sendiri nanti.

Ratusan tong air zamzam yang berjajar rapi, bisa minum sepuas2nya, ada yang dingin ada yang biasa. Semuanya didatangkan langsung dari Mekkah, dan jarang sekali kering. Ada pula ratusan mushaf yang tersusun rapi di rak-rak, ada mushaf dengan bahasa urdu, ibrani, indonesia, bahkan untuk tunanetra pun tersedia. Juga terlihat puluhan pekerja dengan seragam cokelat plus cadar. “Darimana neng?” Awalnya kaget, rupa-rupanya pekerja dari Indonesia, ternyata tak satu, banyak, dan bisa dibilang sebagian besar. Subhanallah Indonesia memang unik, SDM nya nyebar dimana-dimana. Bahkan ada yang sempat2nya curhat, “gaji bersih saya disini hanya 1,25 jt neng, tapi kita cari berkahnya, semenjak disini saya bisa naek haji.” Hm hm.. iseng saya nanya, “dari Riau ada mbak?” mbaknya pun menjawab, “wah saya belum pernah ketemu yang dari Riau neng!” Hm hm..

(Tong-tong air zamzam)

“Bu, mana Raudhah tu? Terus kuburan Rasulullah mn?”
“Manalah Nampak dari sini kak, disanaaa (sambil nunjuk). Besok pagi insya Allah kita kesana.”
Untuk pria, bisa kapan aja ke Raudhah, asal cepat dan sigap, solat 5 waktu pun bisa disana. Berbeda dengan wanita, ada jam-jam khusus, itu pun dibedakan waktunya buat Mashri (Mesir), Melayu (Indo n Malaysia), Iran, dll. Mungkin karena pstur tubuh yang berbeda agak berisiko jika digabung. Ya seperti2 postur2 saya yang agak rawan jika digabung dg postur bangsa Arab umumnya.

Sholat perdana di An-Nabawi rasanya seperti apa ya? Susah di-terjemah-kan. Karpet-karpet lembutnya, bau harumnya, bikin suasana agak-agak gimanaa gitu. Kalo dulu rasanya nangis dilihat ibu tu malu, sekarang tak peduli.

“Wisata Rohani”, begitu mungkin orang-orang ammah menyebutnya. Tapi untuk segelintir orang yang mengenal “dakwah”, perjalanan kesana mungkin adalah saat paling special untuk taqarrub ilallah, menguatkan ruh, menumpahkan semua-semua yang tertahan di hati, suka duka dakwah, sekaligus menangisi diri yang selalu “sok-sok” letih, padahal dibanding Rasulullah SAW? Dari segi cuaca saja kita sudah jauh menang, “menang enaknya!”

Astaghfirullah.. disanalah kita merasakan siroh Rasulullah yang selalu kita baca, selalu pula kita dengar, seperti te-refleksi langsung. Bagaimana Rasul mempersaudarakan Anshor dan Muhajirin, bagaimana Rasul naik unta dari Mekkah, bagaimana Rasul membangun Nabawi, dan bagaimana pula Jasad Rasulullah pernah akan dicuri oleh 2 orang Yahudi yang menyusup ke Madinah dan membuat Lorong di bawah Madinah. Semenjak itulah Kuburan Rasulullah dipagar kokoh sampai ke bawah tanah.

Disana pula kita melihat keragaman Islam ini, orang2 dengan cara sholat yang berbeda, seperti ada yang tidak menggunakan kaos kaki (khusus akhwat), solat dengan celana dan selendang khas india, dll. Tapi kenapa tidak ada yang tersulut emosi untuk berdebat? Wallahua’alam, ini pelajaran berharga.

Saat menuju Raudhah, subhanallah ramai sekali orang dengan raut wajah tak sabar, ingin cepat2 bermunajat kepada Allah di tempat mustajab itu. Kalaulah membandingkan postur tubuh kita dengan orang arab, rasanya mustahil tidak terinjak jika sujud di Raudhah. Nah, disanalah Tauhid Rububiyah bermain, “optimis yo, optimis! Serahkan sj ke Allah.” Alhamdulillah bisa berdoa panjaaang di setiap sujud2 sholat, dan sempat pula menambah raka’at sholat sunnah beberapa kali. Alhamdulillah. Meski ada hal yang bikin miris, beberapa orang arab dan juga Indonesia yang melakukan hal-hal syirik seperti mencium2 tiang, menangis yang meronta-ronta, sampai-sampai satpol PP nya turun tangan.

(Makam Rasulullah SAW, abu Bakar, dan Umar. Sekitar Raudhah)
“Bu, tak usah balek ke hotel yok, kt disini aj sampe shubuh.” Alhamdulillah ibu bersedia. Beberapa saat setelah mendapatkan posisi pas, terdengar bacaan Qur’an yang nyaring, tapi terhenti beberapa kali, setelah memutar-mutarkan pandangan terlihatlah sesorang wanita yang sepertinya sedang muraja’ah. Kupandangi ibu, “pergilah kesana,” kata ibu. Saya pun segera beranjak.
“May I join?”
“Yes, please.” Jawab akhwat itu.
“Surah?”
“Al-Kahf” jawabnya lagi
Akhirnya saya tau, beliau sedang nyetor hapalan dengan seorang ustadzah berkulit hitam. Sependangaran saya, dengan pengalaman tahsinul Qur’an yang pas-pasan, rasanya bacaan ukhti tsb luar biasa bagus. Tapi oleh sang ustadzah, beberapa kali dikoreski. Pertama kali melihat ustadzah tsb, wajahnya dingin, seperti kurang bersahabat. Namun saya salah, beliau hanya sedang berkonsentrasi mendengarkan, ketika beliau mencontohkan bacaan yang benar -aku bergetar-, perpindahan gerak bibir dari satu huruf ke huruf lain begitu faseh, Subhanallah.. hiks, hiks.. Teringat do’a di Raudhah sebelumnya, “Ya Allah dekatkan aku dengan orang-orang yang dekat dan paham dengan Al-Qur’an.” Tak pakai hitungan hari, langsung Allah jawab di tempat itu juga, bahkan saat saya belum sempat balik ke hotel.
Namun tak lama, ustadzah tersebut di telpon, ia segera mengambil cadarnya dan permisi untuk pergi. Agh, kesempatan singkat, tapi sungguh belum pernah saya dapatkan di Indonesia.
Karena waktu shubuh yang masih lama, saya pun tertarik untuk berkenalan dengan salah seorang akhwat yang juga bergabung mendengar setoran tadi. Singkat cerita, dia adalah nurse dari aljazair, sambutannya luar biasa hangat, meski b.inggris-nya nyampur-nyampur dengan b.arab, Alhamdulillah interaksi berlangsung cukup hangat. Yang saya ingat, kami berkali-kali tukar posisi karena pekerja-nya mau ngebersihin karpet. Setelah mendapatkan posisi wuenak, dia pun meminta saya membaca surah al-fatihah lalu ar-rahman. Pesannya, “Huruf ‘ain-nya diperbagus lagi ya, saya tau itu tidak ada dihuruf kalian, tapi insya Allah kamu bisa.” Selain itu dia juga sempat berkata, “Ayo belajar bahasa arab, that’s our language in paradise!”
“Hmm… that’s hard, i think.” Jawabku.
“La.. La.. tidak sulit.” Jawabnya.
“Insya Allah.. pray for me, please.” Jawabku lagi.
Saya juga ingat, ketika kami sedang asyik diskusi tentang makhraj-makhraj Al-Qur’an. Seorang ibu datang dengan pakaian hitam khas arab, dan membawa kursi plastik (memang tersedia banyak di Nabawi dan Al-Haram, untuk orang2 yang tidak bisa solat berdiri).
Kemudian dengan b.inggris yang lebih lancar, namun dialek yang agak sulit, dia berkata, “Tadi saya duduk disana, tapi melihat ada yang sedang belajar Al-Qur’an disini, saya datang.” Oh.. kami pun berkenalan, beliau dari mesir, datang bersama suaminya. Ketika akan berpisah, beliau sempat mencium saya dan memberikan tasbih harum. Di kemudian hari, saya baru tau, jika sebagian besar orang arab sangat senang melihat pemuda yang belajar Al-Qur’an atau pun agama, bahkan mereka tidak segan-segan memberi infak yang cukup besar pada mahasiswa/i yang menimba ilmu agama. Subhanallah..

-Bukit Uhud-

Letaknya masih di Madinah. Ialah bukit yang sangat panjang. Teringat dengan salah satu tugas liqo’ dulu, membaca siroh perang uhud, perang filtrasi kaum munafik dan mukmin. Kisah yang mengharu biru, sarat pelajaran. Perang yang membuat malu diri sendiri, selaku orang yang mengaku cinta kepada Rasul. Karena jika dibanding mereka (para sahabat), sungguh tak kan pernah sama, ya tak mungkin sama kadar pembuktiannya.

Penggal siroh perang uhud yang paling saya suka:
Pasca perang uhud, salah seorang shohabat tergopoh-gopoh mencari seorang shohabiyah,
“Wahai ummi (maaf, saya lupa namanya), aku ingin mengabarkan bahwa bapakmu, suamimu, dan putramu telah gugur di perang uhud.”
Sang wanita yang telah kehilangan 3 lelaki dalam hidupnya itu tidak sedikitpun menggubris info dari lelaki tsb. Dengan raut wajah yang sangat cemas dan tak kalah tergopoh-gopoh, ia balik bertanya, “Rasulullah, Rasulullah, bagaimana dengan Rasulullah? Dimana Rasulullah???!”

Sang lelaki pun menjawab, “Oh, Alhamdulillah Rasulullah selamat.”
“Alhamdulillah. Tidak masalah bagiku kehilangan bapak, suami, dan putra. Yang penting Rasulullah tidak terluka!” jawab wanita itu.

Masaya Allah.. Maasya Allah.. Maasya Allah..

“Jema’ah, itu bukit yang diduduki oleh pasukan pemanah. Nah, kalau yang itu kompleks kuburan syuhada yang gugur di perang uhud, disana paman Nabi, Hamzah, dikuburkan.” Jelas guide-nya menyadarkanku.

Srrpp, mendengar kata-kata “Syuhada”, kuduk rasanya merinding. Begitu banyak para sahabat yang menjemput “cita-cita”-nya di bukit ini, ya bukit ini.

-Menuju Mekkah-
Untuk terakhir kalinya, kami mengunjungi masjid quba, dengan pakaian putih-putih, sholat ihram disana.
Saatnya meninggalkan Madinah, shollu ‘alan Nabiy.. Entah kapanlah bisa mengunjungi An-Nabawi lagi. Tapi “Allah itu tidak pelit”, begitu nasihat seseorang. Semoga suatu saat bisa berdoa sepuas-puasnya lagi di taman surga, Raudhah.
An-Nabawi akhirnya betul-betul hilang di pandangan mata.
Mau tau gimana rasanya?
(3rd, sila rasakan sendiri nanti.)

Dalam perjalanan menuju Mekkah, paling enak mengambil posisi sendiri, duduk paling sudut dekat jendela bus, tak lupa menyiapkan tissue. Seingat saya, perjalanan tsb adalah salah satu moment yang paling syahdu untuk berduaan dengan Allah, sambil memandang gersangnya padang pasir, meresapi banyak sekali karunia-Nya, terutama diperkenalkan dengan Jalan “Licin lagi Berduri” ini, sungguh itulah nikmat terbesar..

-Dalam hati berharap tidak ada yang berminat duduk di samping saya, termasuk ibu. Mohon, biarkan saya sendiri-

Dan ingin tau bagaimana rasanya mengulang-ngulang kalimat talbiah dalam perjalanan menuju Mekkah?
Agghhh…
(4th, silakan silakan silakan RESAPI sendiri nanti!!!)
“Labaikallah… Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah.”
Ada ruh yang berbeda dibandingkan dengan dzikir-dzikir usai sholat atau pagi petang. Jujur.

-Mekkah-
Setiba di Mekkah, mampir ke hotel sebentar, hotel yang jauh berbeda dibandingkan Madinah. Pantas di dalam bus guide-nya berapa kali mengabarkan, bahwa harga hotel di Mekkah berbeda jauh dengan Madinah. Harga satu hotel dengan kualitas yang jauh lebih rendah di Mekkah, bisa 10x lipat lebih malah dibandingakan hotel di Madinah. Owh, mungkin hikmahnya supaya kita tidak betah di hotel, lalu menghabiskan waktu di Masjidil Haram.

Malam itu juga, umroh segera dilakukan.
Pertama kali memasuki Al-Haram, terlihatlah lautan manusia.
“Ini belum apa-apa. Kalau haji lebih banyak.” Kata ayah.
Perlahan-lahan bangunan ka’bah itu pun tampak jelas. Rasa seperti mimpi. Kali ini serasa punya teman, ibuk-ibuk pada nangis. Hehe. Melihat ka’bah seperti apa ya? Hmm, tidak ada istimewa sebenarnya dari segi fisik (selain daripada bau harumnya), tapi semua kisah dan hikmah terpilih yang melatarbelakanginya. Terbayang saat Umar berkata, “kalau tidak karena Rasul mencium-mu (Hajar Aswad), maka aku tidak akan pernah menciummu.” Kemudian saat Fatimah menghadang kaum kufar yang meletakkan kotoran unta di pundak ayahnya yang sedang sholat di dekat Ka’bah. Aghh, berani sekali wanita surga itu.

Oya, tentang Hajar Aswad, Masya Allah… seorang polisi harus berjaga disana karena saking buuuanyaknya orang yang berebutan untuk menciumnya. Bahkan kata adek (peraturan baru hanya pria yang boleh sholat wajib di dekat ka’bah), baru saja salam tanda selesai sholat diucapkan imam, dalam hitungan detik, hajar aswad sudah penuh lagi dikerubungi orang.

(Tampak polisi baju cokelat , menjaga Hajar Aswad. Tampak orang2 begelantungan di pintu multazam. Tampak juga pekerja baju hijau, yang sedang membersihkan maqam Ibrahim. Tidak ada waktu khusus yang sepi orang untuk membersihkan Al-Haram. Bahkan pekerja di sekeliling ka’bah membersihkan sekeliling ka’bah sambil thowaf.)

Kalau di masjid biasa kita disunnahkan sholat sunnah masuk masjid, maka khusus untuk Masjidil HARAM, penggantinya adalah Thowaf sunnah yang bisa kita lakukan kapan saja, dengan bacaan apa saja (yang baik2 tentunya), sebanyak 7 kali.
Pelajaran yang berharga adalah ketika sa’i 7 kali dari safa ke marwa. Capeknya beda, menjalar sampe ke ujung kaki. Terkenanglah bunda hajar dulu, lari-lari sendiri, masih nuansa gurun (kalau sekarang safa marwa berada di dalam masjidil Haram, sudah berkeramik pula, ada kran2 air zamzam, ada pendingin ruangan, rame-rame pula sa’inya), tambah pula ismail yang nangis-nangis. Bagaimanalah sedih-nya rasa hati??
Tapi Bunda Hajar telah mengajarkan makna Tsabat kepada kita, hingga Allah hadiahkan mereka sumber zamzam yang bahkan tak kering-kering hingga sekarang.

Sempat juga terfikir, setiap yang minum zam-zam, kira-kira siti hajar dapat pahalanya gak ya? Kan sumber zam2 Allah hadirkan setelah kerja keras Siti Hajar. Hmhm.. Wallahua’lam..

(Lantai 2 Masjidil Haram. Terlihat Mushaf tersusun rapi)
Selain untuk beribadah dan berdoa sebanyak-banyaknya. Masjidil Haram adalah tempat yang paling pas untuk menyambung silaturahim dengan saudara-saudara dari berbagai Negara, khususnya Negara timteng. Disana sempat berkenalan dengan dua orang ibuk-ibuk, awalnya karena tertarik dengan anak-anaknya, kebetulan saat itu daerah arab sedang liburan anak sekolah, jadi orang tua pada membawa anak-anaknya. Subhanallah, anak-anak arab itu sangat sangat menggemaskan, tak jarang konsentrasi sholat atau tilawah kita terganggu karena mereka hilir mudik di hadapan kita. Kembali ke ibuk-ibuk tadi, ternyata mereka juga dokter, satu dari mesir dengan 4 orang anak, pernah tinggal di USA, suaminya sekarang bekerja sebagai dosen di thoif, jadi mereka menetap disana. Renyah sekali beliau bercerita, bahkan beliau mau membuka cadarnya, “Saya baru beberapa bulan menggunakan cadar. Di Mesir tidak aneh jika kita tidak menggunakan cadar, berbeda dengan di Saudi, akan terlihat aneh sendiri jika tanpa cadar.” Begitu ceritanya.

Satu lagi dari Damaskus, juga sangat semangat bercerita, suaminya juga dokter yang bekerja di Saudi. “Tapi dalam waktu dekat, suami saya akan kembali ke syiria.” Ujarnya.

Lain pula cerita sepasang suami istri negro yang berjalan mundur ketika keluar masjidil haram, seakan tak mau melepas pandang dari ka’bah. Sang suami berkata dengan suara yang besar khas orang afrika, “We are very sad. But we have to go back, to Senegal.”
“Insya Allah suatu saat kesini lagi.” Ujarku.
“Thank you. Thank you.” Jawabnya senang.

Selain itu, Masjidil Haram juga dipenuhi oleh orang-orang yang berkumpul untuk mengkaji Al-Qur’an dan mendengarkan ceramah2 syekh, hampir di setiap sudut kita bisa melihat hal tsb (meskipun saya belum melihat adanya halaqoh wanita). Karena Al-Haram yang luas, ceramah tidak hanya di satu tempat, tapi bisa beberapa tempat bersamaan sekaligus.

Saya teringat ketika akan pulang ke hotel, ditangga masjid ada seorang anak kecil laki-laki sedang memegang mushaf, sambil berkomat-kamit (tapi bukan sedang membaca), ketika tau sedang saya perhatikan, ia seperti malu. Apalagi yang ia lakukan kalau tidak bersangkutan dengan aktivitas menghapal Al-Qur’an! Maasya Allah..

Masih sangat banyak sebenarnya hal yang bisa saya ceritakan, tapi sepertinya tidak semua yang harus dikeluarkan, agar saudara/i yang berkesempatan kesana nanti bisa merasakan langsung hal-hal baru, yang bahkan ceritanya pun belum pernah didengarkan sebelumnya.

Selamat berdoa nanti di Jabbal Rahmah, tempat Adam dan Hawa bertemu setelah terpisah sangat lama. Katanya disana tempat yang tepat untuk berdoa bagi yang belum menjadi ummahat atau abihat. Hehe.

Di tugu jabbal rahmah, sangat banyak yang menuliskan namanya dengan pasangan, entah apalah maksudnya.

Silakan pula lihat sendiri nanti bagaimana tingginya jabal tsur? Yang melihatnya saja harus mendongak jauh, melawan teriknya panas mekkah, bahkan masuknya pun pakai sistem terayap. Resapi bagaimana cintanya Abu Bakar kepada Rasul, hingga rela tersakiti secara fisik.

Liha pula gua hira, bayangkan bahwa disanalah perintah “Membaca dengan nama-Nya” itu pertama kali dititahkan.

Asyik sekali sebenarnya kalau saat itu saya membawa siroh nabawiyah. Mungkin ini bisa dijadikan tips buat saudara/i yang akan kesana.

Akhirul qalam,
Keberadaan kita disana adalah kehendak Allah, pengalaman2 yang terkumpul disana pun juga kehendak Allah, maka minta saja kepada-Nya. Semoga suatu saat kita bisa menginjakkan kaki di tanah Mekkah yang begitu dicintai oleh Allah dan Rasul dengan rezeki kita sendiri. Ya rezeki kita sendiri. Amin Allahumma amin..

Written 2 years ago
File ini sempat hilang, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِي ditemukan kembali. Dan rasanya perlu disimpan di dunia maya, biar tk hilang lagi. For me, it’s precious writing.. Membacanya seperti menonton kembali rekaman2 indah disana..

“Pejalan”

Sehari ba’da idul adha, saya dan grup mentoring yg saya pegang mndapatkan undangan lunch dan mentoring dirumah seorang adik. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِي , bisa makan gratis berbonus silaturahim dg keluarga si adik.

Ada yg menarik pd hari itu, ba’da ashr berjama’ah kami menyambung cerita cukup renyah, mulai dari issue go green, issue politik, sampai cerita soal dokter Obgyn kami yg dulunya PTT di Irian, dan bisa mengendarai helikopter untk membantu percepatan distribusi obat.

Akhir kata, saya tutup pembincaraan itu dg sepotong kalimat:
“Oke, sudah selesai kita bermimpi?!”

“Ssiip kak!” Kata adik2.

Kenapa saya menutup dg kalimat itu? Karena memang issue paling greesh dari pembicaraan itu adalah issue traveling bareng ke luar Indonesia, sambil tak lupa mengambil moment “mentoring/halaqoh” disana.

Salah seorang adik mewanta-wanti teman2nya untk sgera bikin paspor, yg lain mnyatakan dirinya bsedia mncri informasi ttg tiket dsb, sisanya jg tak kalah heboh, ada yg bicarain Turki, Australi, Korea, dan KL yg paling dekat.

Saya sendiri? Saya berkata pd adik2,
“Hmm, kalo kk pengen ke Europe! Yaah, bisa aja kan bbrapa tahun lg kita bareng2 kongres kesana.”

Intinya, kami sedang aktif sekali bermimpi saat itu! Semuanya spontan, lugas, tanpa beban. Bahkan tak ada satu pun yg mngangkat masalah finansial, hatta sekedar bergumam, “yah.. Uangnya dari mana?!” Padahal saya pun yakin, tidak ada jaminan kalau uangnya tersedia, atau ortu mengizinkan alokasi dana kesana, dll.
Kalo ditanya kenapa? Jawabannya simple:
“Kita sudah terlanjur memercayakan kepada ALLAH untuk segenap mimpi2 kita, bahwa setiap jalan adalah milik-Nya, kuasa-Nya. Dan Dia tak ‘kan jauh dri prasangka hamba-Nya..”

Saya pun teringat dg perjalanan sehari sblm Adha, ktk saya dan tmn2 mngunjungi diskon gramedia, senang sekali rasanya ktk ada diskon majalah “National Geographic Traveler”. Beli 1 Gratis 2. Wow! Mantap! Disana saya mengutip kata2 seorang strudara film dokumenter:
“Perjalanan ke satu daerah bukan mlulu mrasakan hal2 menarik, namun jg mengakrabi komunitas, menyerap kearifan lokal, dan berbuat sesuatu.”
Hmm.. Indah sekali rasanya. Inilah barangkali yang dimaksud dg Pejalan yg punya tujuan atau istilah lainnya,
Travels Philantrophy”

Bahkan tak perlu jauh-jauh, Allah pun menyuruh kita untuk berjalan dan mengembarai seisi bumi-Nya. Agar mata kita melek dg beragam kuasa-Nya, dan tentu sj mengambil pelajaran dlm setiap petak yg kita singgahi.

Saya bersyukur dikaruniai ibu dan ayah yang sejak kecil telah mendidik kami menjadi pejalan! He.. Waktu2 libur selalu dialokasikan sbg Agenda Rihlah (Jalan2,red), meskipun hanya ke kebun. Persis seperti nasehat Anis Matta, agar setiap kader dakwah jg mealokasikan dana khusus untuk rihlah bareng keluarga.

Kembali membaca National Geographic Traveler tadi, saya berdecak kagum dengan tradisi masyarakat Gent di Belgia sana. Meski supermarket bermunculan, namun mereka tdk mengorbankan pasar2 tradisional. Warga tetap memelihara tradisi berbelanja ikan segar, keju home made, dan sayur2 organik bebas pestisida di pasar2 trasidisional tsb. Inilah bukti bahwa bangsa Europe cenderung ingin back to nature. Sama hal nya dg Negeri Portland di Amrik yang menyediakan lajur bersepeda khusus untuk warganya.

Memang tak habis-habis kalau mengupas soal “pejalan”. yuklah jalan-jalan..

Bilik juang, 8-11-2011

Recalling

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِي hari ke-5 menikmati kota “wong jawa” ini

Hmm.. Menghirup udara segar pagi ini.. Setelah 3 malam yg memorable..
moment recalling keterampilan2 medis yang bertemankan rasa kantuk, moment pedih-pedih mata bikin presentasi penyuluhan, dan moment2 dadakan lainnya.

Ternyata recalling adalah hal yg mengasyikkan, memory yang tersimpan di mind kita tak pernah lari kemana-mana, setia hadir kembali seketika kita butuhkan. Ini benar-benar terasa sekali. Mungkin setiap orang pnya cara belajar berbeda-beda. Tp untk tipe saya, belajar paling efektif adalah: “Mendengarkan, memperhatikan, bertanya, dan berdiskusi dengan dosen.” Kita seolah-olah menghemat waktu untuk membaca beberapa buku sekaligus dg berdiskusi bersama dosen (opurtunis.mode.on).

Makanya DOSEN (guru,red) adalah salah satu tokoh favorit dalam hidup saya. Dedikasi mereka men-“JADI”-kan kita adalah hal yg mencengangkan! (Paling tidak bagi saya).

Huhuu, jadi kangen dosen-dosen di kampus tercinta. Sing: #Ku karena-mu (by Firdaus).

dr. Siti Pariani, M.Sc, PhD. Dokter Nani’ panggilannya, “singa dari Surabaya”, beliau yg menamai dirinya. Barangkali beliau jg adalah karib dri dosen kami, Prof. Rozaimah.

Ceramahnya hari ini:
Tiga peran yg seharusnya dijiwai seorang dokter: Agent of Change, Agent of Development, Agent of Treatment.
Artinya dokter bukanlah bergerak di titik akhir saja: kuratif (Agent of treatment), tapi juga titik2 sebelum itu, yaitu preventif dan manajerial..

Satu pesan yang saya simpulkan dri dr.Nani’: “Jadilah dokter untuk bangsa”

Baiklah dok, tepat sekali dg apa yg diajarkan pada saya:
“BEKERJA-lah UNTUK INDONESIA”

Ruang Anatomi-FK UNAIR Surabaya, 15-10-2011